[ad_1]

KETUA Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, seharusnya bersikap tegas. Sebagai pengendali Partai Aceh, dan calon Gubernur Aceh, dia tidak seharusnya menunda-nunda penyerahan nama-nama pengganti antarwaktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang menyatakan diri sebagai kepala daerah. 

Hingga saat ini, Partai Aceh belum juga menyerahkan tiga nama pengganti tiga anggota DPR Aceh terpilih yang kini mengikuti proses Pemilihan Kepala Daerah Aceh 2024. Tiga nama yang belum diserahkan tersebut adalah pengganti Ismail A Jalil (Ayahwa), Iskandar Usman Al-Farlaky, dan Tarmizi. 

Ismail adalah calon Bupati Aceh Utara. Iskandar Usman calon Bupati Aceh Timur, dan Tarmizi calon Bupati Aceh Barat. Nama-nama pengganti mereka seharusnya segera diserahkan kepada Komisi Independen Pemilihan Aceh setelah Partai Aceh menugaskan mereka untuk maju di Pilkada 2024.

Sebagai Ketua Partai Aceh, Mualem seharusnya bersikap ksatria dan jujur untuk meyakinkan kader mereka bersikap yang sama menghadapi dinamika politik saat ini. Menunda-nunda penyerahan nama pergantian antarwaktu sama dengan menghambat kinerja DPR Aceh. 

Mualem tidak perlu ragu untuk meneken surat PAW anggota mereka. Partai Aceh punya kader yang layak untuk mengisi posisi yang ditinggalkan politikus yang maju di pilkada itu. Jangan sampai pula penundaan ini malah berkaitan dengan sogok menyogok. 

Mereka yang maju di pilkada, setelah memenangkan pemilu, mencoba menunda proses PAW di partai politik masing-masing dengan harapan dapat tetap menjadi anggota DPR Aceh jika kalah di pilkada. Dan ini jelas tidak gratis. 

Komisi Independen Pemilihan Aceh juga harus bertindak tegas. Tangan sekadar menunggu. Tugas mereka adalah memastikan seluruh anggota DPR Aceh 2024-2029 dilantik. KIP Aceh jangan malah melegalkan aksi penundaan ini sehingga PAW tak kunjung dilaksanakan.  

Berpolitik itu seharusnya tetap mengedepankan etika. Kalau memang harus mundur, maka semua pihak harus mematuhi aturan itu, baik si calon, ketua partai, atau pelaksana pemilu. Etika itulah yang bakal menjadi pegangan dalam kehidupan berpolitik. Tanpa etika sebagai barometer, politik tak lebih dari arena adu keculasan.***

[ad_2]

Source link